Kamis, 16 Desember 2010

Tontonan langka



Warga masyarakat yang melintas di jembatan kali Boyong, Donoharjo, Sleman mendapat tontonan langka, yaitu lima buah escavator yang sedang bekerja memindahkan pasir hasil erupsi merapi yang telah menyebabkan pendangkalan sungai, Kamis (16/12). Beberapa sungai aliran gunung Merapi lainnya juga mengalami hal yang sama.

Sabtu, 11 Desember 2010

Pengukur level air

Seorang petugas dari UGM sedang memasang alat pengukur level air, sabtu (11/12), di bawah jembatan Rejodani, Sleman. Alat ini dipasang untuk memantau tingkat level air sekaligus aliran lahar dingin Merapi

Rabu, 08 Desember 2010

Lahar turun gunung

Seorang warga yang melintas di jembatan kali Boyong dusun Balong, Donoharjo, Sleman, Berhenti melihat derasnya aliran air sungai yang bercampur dengan lahar dingin hasil letusan gunung merapi beberapa waktu lalu. Hujan yang mengguyur sejak siang hingga sore tadi bahkan sempat membuat jembatan ini terendam air. Foto diambil Rabu (8/12)

Senin, 06 Desember 2010

Perjalanan Menuju Bromo Bagian III

Ada baiknya bertanya sebelum membeli, maklum ditempat wisata apa saja bisa terjadi, terutama mengenai harga. Entah itu makan atau tempat menginap. Apalagi seperti kami, yang notabenenya liburan dengan doku pas-pasan. Jangan ragu untuk tawar-menawar jika merasa harga yang disuguhkan melebihi perkiraan atau budget yang di alokasikan. Pilihan yang cermat akan menetukan pengeluaran selama liburan. Seperti di Tosari satu porsi makan rata-rata dipatok harga Rp 10.000, dan untuk penginapan rata-rata rp 100.000-rp 150.000. Mungkin untuk makan sulit untuk tawar-menawar, namun untuk penginapan masih bisa diturunkan. Bagi kami harga harga penginapan yang segitupun masih terlalu mahal.
Masih sebelas jam lagi menanti matahari terbit, kami masih diwarung makan, sepatuku masih basah, dan kakiku masih berbalut plastik, suhu saat itu sekitar 20 derajat celcius, kabut mulai tebal. Usai makan tadi kami bergegas menuju masjid untuk malaksanakan shalat magrib. Masjid itu milik Yayasan Pancasila, sebuah masjid yang digawangi mantan presiden Indonesia, almarhum Soeharto. Aku rasa diseluruh Indonesia desain masjid ini sama saja, walaupun namanya berbeda-beda. Berbentuk persegi, dengan tiga undakan atap, dan didalamnya pasti ada prasasti dengan bubuhan tanda tangan presiden RI ke-2 itu.
Diluar pekarangan masjid ada dua ruangan tambahan, yang satu merupakan ruang Taman Pendidikan Alquran (tpa), dan yang satunya ruang istirahat penjaga masjid. Sepertinya didalam sana hangat, pikirku.
Sementara Dhipta berkemas, aku mendahulukan shalat. Baru saja usai shalat dhipta datang menghapiriku dengan wajah cemas. Sebuah kelalaian kecil terjadi, Dhipta lupa mengancingkan tas, ketika diangkat handicam terpental ke lantai dan menggelinding kira-kira sejauh tiga meter. Alhasil ada bagian yang sompel. Dan yang lebih parah lagi, handicam itu adalah pinjaman, makin memperparah lagi, bukan saja pinjaman, tapi handicam itu adalah barang gadaian. Jadi kesimpulannya Dhipta adalah orang yang memakai handicam gadaian. Cukup menjadi bahan pemikiran.
Kita tinggalkan sejenak masalah handicam. Selesai shalat isya, aku menghampiri ta'mir masjid. Meminta ijin untuk beristirahat diselasar masjid menunggu subuh tiba. Sontak penjaga masjid mengatakan jangan. Aku hampir kecewa sebelum sang takmir masjid melanjutkan pembicaraannya. Mas Yusuf, setelah itu aku tahu namanya, menyarankan kami agar menggunakan ruangan tpa itu.
Kami agak sungkan, mulanya. Namun mas Yusuf tak tega membiarkan kami beristirahat di selasar masjid, karena udara akan dingin. Dan dengan rasa syukur dan berterimakasih kami tidak menolaknya. Kami akhirnya menempati ruangan hangat itu. Benar saja setelah itu suhu turun mencapai 13 derajat celcius.
Sebelum kami tidur mamang ada beberapa pemuda yang menggunakan ruangan itu untuk berlatih banjaran. Banjaran adalah seni musik dengan memainkan rebana, melantunkan sholawat dan atau pujian kepada sang maha pencipta. Terang saja, rupanya sebentar lagi maulud nabi Muhammad SAW. Akan ada acara kecil nantinya, dan para remaja mesjid itu yang mengiringi hiburan musiknya. Sementara para pemuda itu berlatih kami menikmati malam dari ketinggian sekitar 2000 m dpl, sayang lagit tak cerah. Hanya kabut dan kerlap kerlip lampu rumah warga. Itupun tak membuat kami bosan. Setelah mereka usai, kami pun tak menyia-nyiakan waktu istirahat yang tersisa. Segera menuju peraduan dengan meninggalkan harapan esok tiba dengan langit cerah memesona. Sepatuku belum kering juga.

Sabtu, 04 Desember 2010

"KOMPAK" Tanggap Bencana

Kiki-Kingkong, Kali Code. Sabtu (4/12)
Hari mulai gelap. Hampir setiap sudut langit kelabu. Hujan rintik. Adzan magrib sebentar lagi berkumandang. Mardoyo. Beliau adalah komandan Rescue KOMPAK (Komunitas Pinggiran Kali Code). Ditengah kesibukannya beliau menyambut kedatangan Kiki-Kingkong. Dibawah komando beliau lebih dari 80 relawan membangun posko tanggap darurat untuk bahaya lahar dingin merapi. “ini adalah kegiatan swadaya masyarakat, segala kebutuhan posko didapat dari bantuan masyarakat sekitar.” Tutur beliau. Posko di Blunyah Gede ini adalah Posko utama yang mencakup wilayah Gemawang, Sendowo, dan Ketinden. Semuanya berada di bantaran kali Code, kelurahan Sinduadi, kecamatan Mlati. Dua pos lainnya tersebar diantara ketiga
wilayah itu.
Posko yang mulai ada sejak tanggal senin (29/11) ini memiliki dua kegiatan utama. Yaitu kegiatan patroli, yang terdiri dari patroli jaga dan patroli kali saat malam hari dimana setiap malamnya ada kurang lebih 10-15 orang yang berjaga di setiap posko, dan kegiatan bersih kali. “kebanyakan potongan kayu, kami membersihkannya. Jika kalinya bersih, maka aliran air akan lancar dan terhindar dari luapan banjir lahar” ungkap Mardoyo. Mardoyo bercerita, sejak kejadian hari senin itu banyak warga yang takut. “banjir lahar menghantam pembatas kali hingga jebol, kami mencoba menutupnya dengan karung yang berisi pasir. Malam itu air masuk kedalam rumah hingga kedalaman satu meter”. Belum ada kepastian hingga kapan posko ini akan berdiri, tapi warga terus siaga. “nanti jika keadaan disini sudah tenang maka para relawan akan saya alihkan ke atas (merapi-red)”. Menurut Mardoyo tahun 1968 air pernah meluap hingga membanjiri kawasan sekitar kali Code. Penulusuran Kiki-Kingkong di laman Wikipedia gunung Merapi memang pernah meletus sekitar tahun itu, tepatnya tahun 1969 yaitu letusan gas. Namun Kiki-Kingkong tidak menemukan informasi tentang dampak dari letusan pada tahun tersebut. Masih dari rilis halaman Wikipedia, catatan Geologi modern mencatat letusan terbesar gunung Merapi terjadi pada tahun 1872 dengan tingkat letusan 3-4 VEI (Volcano Explosive Index). Letusan terbaru, 2010, diperkirakan juga memiliki kekuatan yang mendekati atau sama. Letusan tahun 1930, yang menghancurkan tiga belas desa dan menewaskan 1400 orang, merupakan letusan dengan catatan korban terbesar hingga sekarang.
Rintik hujan masih turun, Adzan magrib usai berkumandang. “disini aman, logistik dan kebutuhan relawan bisa diusahakan dari masyarakat, saat ini kami membutuhkan tikar dan tenda”. Pungkas Mardoyo.

Kamis, 18 Februari 2010

Perjalanan Menuju Bromo Bagian II


Jumat, 12/2/10

Rasanya segala perlengkepan yang aku butuhkan sudah siap, begitupula dhipta. Yang pasti makanan, pakaian, dan kamera dengan segala perlengkapannya. Langit cerah, jalan berkelok melintasi perbukitan

menawan sepanjang 41 Km mengiri perjalan kami antara Ponorogo hingga Trenggalek. 31 Km kemudian kami tiba di Tulungagung, lalu beristirahat di alun-alun. Kira-kira setengah jam kami beristirahat, jam

sepuluh kami melanjutkan perjalanan. Selanjutnya kami menuju malang. Sudah pukul duabelas kami belum juga tiba di malang. Kami memerlukan berhenti untuk melaksanakan shalat jumat. Setelah shalat jumat

kami akan makan siang di malang. Kami mampir disebuah mesjid di daerah Kepanjen. Tak ada yang berbeda, ritual shalat jumat seperti biasanya. Didahulukan oleh khutbah, lalu shalat dua rakaat berjamaah.

Hingga usai shalat ada seorang bapak bapak yang tiba-tiba menawarkan kami untuk mampir kerumahnya. Setelah itu aku ketahui namanya Kolis. Pak Kolis tidak hanya sekedar menawarkan untuk mampir, tapi

juga untuk makan. Sempat terbersit didalam pikiranku, mungkinkah bapak ini salah orang. Akhirnya kami pun menerima tawaran bapak tersebut. Semakin heran lagi karena dirumah ternyata orang-orang telah

ramai. Kali ini aku berfikir, mungkin sedang diadakan sebuah hajatan. Tak banyak bertanya, aku dan dhipta pun segera mengambil nasi dan lauk pauknya, Dengan tetap elegan dan berwibawa, pelan tapi pasti nasi

dan lauk pauknya kami ambil sedikit demi sedikit dan akhirnya menjadi bukit. Memang urusan yang satu ini, urusan perut, tidak dapat tawar-menawar. Kami pun berbaur dengan warga lainnya dan terjadilah

pembicara, maka terbukalah semua kebingunganku. begini, kegiatan makan bersama ini merupakan kegiatan yang sudah ada sejak lama. Pak Kolis dan keluarga hanya meneruskan kegiatan yang sudah menjadi

kebiasaan secara turun temurun. Bukan karena alasan hajatan. Menjamu makan para jamaah, atau siapa dengan sukarela dengan tanpa alih-alih, seusai shalat jumat. Bagiku hal ini unik, apalagi di indonesia yang

sekarang ini. Bukan terletak pada lauk pauk yang disuguhkan, tapi kebersamaan yang diutamakan. Pak kolis juga merasakan manfaatnya. Dengan kegiatan semacam ini, maka terciptalah suasana silaturahmi dan

kekerabatan yang harmonis. Disela-sela menikmati makanan, warga dapat membicarakan apa saja. Siapa saja boleh menanggapi, bahkan memberikan solusi. Kami pun bercerita tentang maksud perjalan kami.

Dan nyata, pak kolis memberikan masukan dan saran mengenai rute yang sebaiknya kami tempuh. Perut telah terisi, tenaga telah kembali. Perjalanpun kami lanjutkan. Tak lupa kami mengucapkan banyak terima

kasih. Mampirlah kembali jika lewat desa kami lagi, dan hati hati dalam perjalanan, pesan pak Kolis terakhir.
Belum seberapa jauh kami meninggalkan Kepanjen, hujan mulai menyapa. Laju kendaraan kami kurangkan. Lambat-lambat akhirnya kami tiba di Malang. Membelah kota Malang yang padat, setelah 3 Km melewati

Lawang, belok kanan kami menuju Nongkojajar. Hujan deras menyertai kami pada rute berkelok dan terus menanjak hingga Nongkojajar. Berhenti sebentar untuk istirahat dan melaksanakan shalat ashar, motor

Dhipta sempat tumbang dikarenakan tak kuatnya dhipta menahan berat kendaraan pada lahan parkir yang miring. Dibantu dua orang penduduk sekitar kami mendirikan kembali Scorpio Dhipta. Tak pelak, dua tas

disamping kiri dan kanan serta satu box touring ukuran besar menempel pada motor dhipta sehingga menambah beban berat tunggangannya.
Sepatuku basah, rasanya ada genangan air didalam kakiku. Atas saran Dhipta, aku melapisi kakiku dengan kantong plastik sebelum mengenakan sepatuku lagi. Tidak begitu buruk, setidaknya lebih baik dari pada

mengenakan genangan air.
kiri-kanan tebing, jalan aspal selebar 3 meter licin karena diguyur hujan, berlika-liku, menanjak-menurun, dan kabut mulai turun saat kami melintasi Tengger. Lembah, kebun sayur, pohon cemara dan tanaman

dataran tinggi lainnya yang tidak aku ketahui namanya, menurut kepercayaanku segala jenis tanaman atau hewan yang tidak aku ketahui namanya yang berada didataran tinggi aku tambahi dengan embel-embel

"dataran tinggi", mengiringi perjalan kami sampai desa Tosari pukul 18.00. Sesaat kemuadian adzan magrib bersautan. Kembali perut kami mulai memanggil. Suhu dingin juga memaksa kami harus tetap menjaga

tubuh agar tetap berenergi. Kami pun makan. Dan sepatuku belum kering lagi.

Perjalanan Menuju Bromo Bagian I


Kamis, 11/2/10
Bagian I

Matahari masih hangat. Cahaya renyahnya manjatuhkan bayangan setiap benda pada sisi barat. Kabut belum juga usai menguap saat aku mulai berangkat. Pukul tujuh aku start.
Jalan belum terlalu padat. Hiruk pikuk kendaraan belum terlalu banyak yang lewat. Walaupun membawa beban yang cukup berat. Namun aku tetap bersemangat.
Mata tetap awas dan jalanan kupandang lekat-lekat. Jogja - Ponorogo dapat dikategorikan bukan jarak yang dekat.
Satu demi satu kota terlewati. 25 Km ke Klaten, 41 Km ke solo, lalu 19 Km sampai di wonogiri. Saat Melintasi Wonogiri, ada sebuah warung makan yang hampir tak pernah absen untuk disinggahi. Mencontek

kata-katanya pak Bondan Winarno dalam acaranya Wisata Kuliner "maknyus pemirsa", ya mungkin kata-kata itu yang terpat disuguhkan untuk warung makan ini. Letaknya di jalan raya Ngadirejo Wonosari.

Menyajikan menu prasmanan dengan beraneka ragam lauk pauk dan sayur dengan harga terjangkau dan yang nggak kalah maknyus, sambalnya MANTRA, alias MANtab TeRAsa ! Selain itu, ada yang khas dari

warung makan ini, berkaitan dengan namanya. Setiap pengunjung pasti akan dipanggil "sayang", asik kan. Selain bisa makan dengan wareg dan harga terjangkau, juga mendapat kasih dan "sayang". Barang kali

tidak akan didapatkan selain di warung makan "Alami Sayang". Memang banyak pilihan tempat makan sepanjang perjalanan, bukan bermaksud untuk beriklan, namun jika memang ingin membuktikan mampirlah

dan rasakan "sayangnya". Setelah kenyang, aku masih harus menempuh 73 Km lagi untuk tiba di Ponorogo.
Pukul 10-40 aku tiba di Jl Pacar III, Ponorogo, tepatnya di kediaman Dhipta. Sahabatku karib yang ku kenal saat sama-sama berjuang di Lembaga Pers Mahasiswa Himmah Universitas Islam Indonesia (LPM

HIMMAH UII). Kesamaan hobi telah membawa kami terlibat dalam persekongkolan fotografi. Bisa dibilang perjalan kali ini ingin mengulang masa-masa nekad kami dulu saat memperkuat LPM HIMMAH UII didivisi

fotografi. Tidak banyak yang aku lakukan di Ponorogo, kebengkel, makan sate Ponorogo dan santai bersantai ngopi di jalan baru menikmati malam berlalu kemudian beristirahat menanti perjalan 200 Km esok.