Kamis, 18 Februari 2010

Perjalanan Menuju Bromo Bagian II


Jumat, 12/2/10

Rasanya segala perlengkepan yang aku butuhkan sudah siap, begitupula dhipta. Yang pasti makanan, pakaian, dan kamera dengan segala perlengkapannya. Langit cerah, jalan berkelok melintasi perbukitan

menawan sepanjang 41 Km mengiri perjalan kami antara Ponorogo hingga Trenggalek. 31 Km kemudian kami tiba di Tulungagung, lalu beristirahat di alun-alun. Kira-kira setengah jam kami beristirahat, jam

sepuluh kami melanjutkan perjalanan. Selanjutnya kami menuju malang. Sudah pukul duabelas kami belum juga tiba di malang. Kami memerlukan berhenti untuk melaksanakan shalat jumat. Setelah shalat jumat

kami akan makan siang di malang. Kami mampir disebuah mesjid di daerah Kepanjen. Tak ada yang berbeda, ritual shalat jumat seperti biasanya. Didahulukan oleh khutbah, lalu shalat dua rakaat berjamaah.

Hingga usai shalat ada seorang bapak bapak yang tiba-tiba menawarkan kami untuk mampir kerumahnya. Setelah itu aku ketahui namanya Kolis. Pak Kolis tidak hanya sekedar menawarkan untuk mampir, tapi

juga untuk makan. Sempat terbersit didalam pikiranku, mungkinkah bapak ini salah orang. Akhirnya kami pun menerima tawaran bapak tersebut. Semakin heran lagi karena dirumah ternyata orang-orang telah

ramai. Kali ini aku berfikir, mungkin sedang diadakan sebuah hajatan. Tak banyak bertanya, aku dan dhipta pun segera mengambil nasi dan lauk pauknya, Dengan tetap elegan dan berwibawa, pelan tapi pasti nasi

dan lauk pauknya kami ambil sedikit demi sedikit dan akhirnya menjadi bukit. Memang urusan yang satu ini, urusan perut, tidak dapat tawar-menawar. Kami pun berbaur dengan warga lainnya dan terjadilah

pembicara, maka terbukalah semua kebingunganku. begini, kegiatan makan bersama ini merupakan kegiatan yang sudah ada sejak lama. Pak Kolis dan keluarga hanya meneruskan kegiatan yang sudah menjadi

kebiasaan secara turun temurun. Bukan karena alasan hajatan. Menjamu makan para jamaah, atau siapa dengan sukarela dengan tanpa alih-alih, seusai shalat jumat. Bagiku hal ini unik, apalagi di indonesia yang

sekarang ini. Bukan terletak pada lauk pauk yang disuguhkan, tapi kebersamaan yang diutamakan. Pak kolis juga merasakan manfaatnya. Dengan kegiatan semacam ini, maka terciptalah suasana silaturahmi dan

kekerabatan yang harmonis. Disela-sela menikmati makanan, warga dapat membicarakan apa saja. Siapa saja boleh menanggapi, bahkan memberikan solusi. Kami pun bercerita tentang maksud perjalan kami.

Dan nyata, pak kolis memberikan masukan dan saran mengenai rute yang sebaiknya kami tempuh. Perut telah terisi, tenaga telah kembali. Perjalanpun kami lanjutkan. Tak lupa kami mengucapkan banyak terima

kasih. Mampirlah kembali jika lewat desa kami lagi, dan hati hati dalam perjalanan, pesan pak Kolis terakhir.
Belum seberapa jauh kami meninggalkan Kepanjen, hujan mulai menyapa. Laju kendaraan kami kurangkan. Lambat-lambat akhirnya kami tiba di Malang. Membelah kota Malang yang padat, setelah 3 Km melewati

Lawang, belok kanan kami menuju Nongkojajar. Hujan deras menyertai kami pada rute berkelok dan terus menanjak hingga Nongkojajar. Berhenti sebentar untuk istirahat dan melaksanakan shalat ashar, motor

Dhipta sempat tumbang dikarenakan tak kuatnya dhipta menahan berat kendaraan pada lahan parkir yang miring. Dibantu dua orang penduduk sekitar kami mendirikan kembali Scorpio Dhipta. Tak pelak, dua tas

disamping kiri dan kanan serta satu box touring ukuran besar menempel pada motor dhipta sehingga menambah beban berat tunggangannya.
Sepatuku basah, rasanya ada genangan air didalam kakiku. Atas saran Dhipta, aku melapisi kakiku dengan kantong plastik sebelum mengenakan sepatuku lagi. Tidak begitu buruk, setidaknya lebih baik dari pada

mengenakan genangan air.
kiri-kanan tebing, jalan aspal selebar 3 meter licin karena diguyur hujan, berlika-liku, menanjak-menurun, dan kabut mulai turun saat kami melintasi Tengger. Lembah, kebun sayur, pohon cemara dan tanaman

dataran tinggi lainnya yang tidak aku ketahui namanya, menurut kepercayaanku segala jenis tanaman atau hewan yang tidak aku ketahui namanya yang berada didataran tinggi aku tambahi dengan embel-embel

"dataran tinggi", mengiringi perjalan kami sampai desa Tosari pukul 18.00. Sesaat kemuadian adzan magrib bersautan. Kembali perut kami mulai memanggil. Suhu dingin juga memaksa kami harus tetap menjaga

tubuh agar tetap berenergi. Kami pun makan. Dan sepatuku belum kering lagi.

Perjalanan Menuju Bromo Bagian I


Kamis, 11/2/10
Bagian I

Matahari masih hangat. Cahaya renyahnya manjatuhkan bayangan setiap benda pada sisi barat. Kabut belum juga usai menguap saat aku mulai berangkat. Pukul tujuh aku start.
Jalan belum terlalu padat. Hiruk pikuk kendaraan belum terlalu banyak yang lewat. Walaupun membawa beban yang cukup berat. Namun aku tetap bersemangat.
Mata tetap awas dan jalanan kupandang lekat-lekat. Jogja - Ponorogo dapat dikategorikan bukan jarak yang dekat.
Satu demi satu kota terlewati. 25 Km ke Klaten, 41 Km ke solo, lalu 19 Km sampai di wonogiri. Saat Melintasi Wonogiri, ada sebuah warung makan yang hampir tak pernah absen untuk disinggahi. Mencontek

kata-katanya pak Bondan Winarno dalam acaranya Wisata Kuliner "maknyus pemirsa", ya mungkin kata-kata itu yang terpat disuguhkan untuk warung makan ini. Letaknya di jalan raya Ngadirejo Wonosari.

Menyajikan menu prasmanan dengan beraneka ragam lauk pauk dan sayur dengan harga terjangkau dan yang nggak kalah maknyus, sambalnya MANTRA, alias MANtab TeRAsa ! Selain itu, ada yang khas dari

warung makan ini, berkaitan dengan namanya. Setiap pengunjung pasti akan dipanggil "sayang", asik kan. Selain bisa makan dengan wareg dan harga terjangkau, juga mendapat kasih dan "sayang". Barang kali

tidak akan didapatkan selain di warung makan "Alami Sayang". Memang banyak pilihan tempat makan sepanjang perjalanan, bukan bermaksud untuk beriklan, namun jika memang ingin membuktikan mampirlah

dan rasakan "sayangnya". Setelah kenyang, aku masih harus menempuh 73 Km lagi untuk tiba di Ponorogo.
Pukul 10-40 aku tiba di Jl Pacar III, Ponorogo, tepatnya di kediaman Dhipta. Sahabatku karib yang ku kenal saat sama-sama berjuang di Lembaga Pers Mahasiswa Himmah Universitas Islam Indonesia (LPM

HIMMAH UII). Kesamaan hobi telah membawa kami terlibat dalam persekongkolan fotografi. Bisa dibilang perjalan kali ini ingin mengulang masa-masa nekad kami dulu saat memperkuat LPM HIMMAH UII didivisi

fotografi. Tidak banyak yang aku lakukan di Ponorogo, kebengkel, makan sate Ponorogo dan santai bersantai ngopi di jalan baru menikmati malam berlalu kemudian beristirahat menanti perjalan 200 Km esok.