Senin, 06 Desember 2010

Perjalanan Menuju Bromo Bagian III

Ada baiknya bertanya sebelum membeli, maklum ditempat wisata apa saja bisa terjadi, terutama mengenai harga. Entah itu makan atau tempat menginap. Apalagi seperti kami, yang notabenenya liburan dengan doku pas-pasan. Jangan ragu untuk tawar-menawar jika merasa harga yang disuguhkan melebihi perkiraan atau budget yang di alokasikan. Pilihan yang cermat akan menetukan pengeluaran selama liburan. Seperti di Tosari satu porsi makan rata-rata dipatok harga Rp 10.000, dan untuk penginapan rata-rata rp 100.000-rp 150.000. Mungkin untuk makan sulit untuk tawar-menawar, namun untuk penginapan masih bisa diturunkan. Bagi kami harga harga penginapan yang segitupun masih terlalu mahal.
Masih sebelas jam lagi menanti matahari terbit, kami masih diwarung makan, sepatuku masih basah, dan kakiku masih berbalut plastik, suhu saat itu sekitar 20 derajat celcius, kabut mulai tebal. Usai makan tadi kami bergegas menuju masjid untuk malaksanakan shalat magrib. Masjid itu milik Yayasan Pancasila, sebuah masjid yang digawangi mantan presiden Indonesia, almarhum Soeharto. Aku rasa diseluruh Indonesia desain masjid ini sama saja, walaupun namanya berbeda-beda. Berbentuk persegi, dengan tiga undakan atap, dan didalamnya pasti ada prasasti dengan bubuhan tanda tangan presiden RI ke-2 itu.
Diluar pekarangan masjid ada dua ruangan tambahan, yang satu merupakan ruang Taman Pendidikan Alquran (tpa), dan yang satunya ruang istirahat penjaga masjid. Sepertinya didalam sana hangat, pikirku.
Sementara Dhipta berkemas, aku mendahulukan shalat. Baru saja usai shalat dhipta datang menghapiriku dengan wajah cemas. Sebuah kelalaian kecil terjadi, Dhipta lupa mengancingkan tas, ketika diangkat handicam terpental ke lantai dan menggelinding kira-kira sejauh tiga meter. Alhasil ada bagian yang sompel. Dan yang lebih parah lagi, handicam itu adalah pinjaman, makin memperparah lagi, bukan saja pinjaman, tapi handicam itu adalah barang gadaian. Jadi kesimpulannya Dhipta adalah orang yang memakai handicam gadaian. Cukup menjadi bahan pemikiran.
Kita tinggalkan sejenak masalah handicam. Selesai shalat isya, aku menghampiri ta'mir masjid. Meminta ijin untuk beristirahat diselasar masjid menunggu subuh tiba. Sontak penjaga masjid mengatakan jangan. Aku hampir kecewa sebelum sang takmir masjid melanjutkan pembicaraannya. Mas Yusuf, setelah itu aku tahu namanya, menyarankan kami agar menggunakan ruangan tpa itu.
Kami agak sungkan, mulanya. Namun mas Yusuf tak tega membiarkan kami beristirahat di selasar masjid, karena udara akan dingin. Dan dengan rasa syukur dan berterimakasih kami tidak menolaknya. Kami akhirnya menempati ruangan hangat itu. Benar saja setelah itu suhu turun mencapai 13 derajat celcius.
Sebelum kami tidur mamang ada beberapa pemuda yang menggunakan ruangan itu untuk berlatih banjaran. Banjaran adalah seni musik dengan memainkan rebana, melantunkan sholawat dan atau pujian kepada sang maha pencipta. Terang saja, rupanya sebentar lagi maulud nabi Muhammad SAW. Akan ada acara kecil nantinya, dan para remaja mesjid itu yang mengiringi hiburan musiknya. Sementara para pemuda itu berlatih kami menikmati malam dari ketinggian sekitar 2000 m dpl, sayang lagit tak cerah. Hanya kabut dan kerlap kerlip lampu rumah warga. Itupun tak membuat kami bosan. Setelah mereka usai, kami pun tak menyia-nyiakan waktu istirahat yang tersisa. Segera menuju peraduan dengan meninggalkan harapan esok tiba dengan langit cerah memesona. Sepatuku belum kering juga.

0 komentar:

Posting Komentar